Pembangunan di Indonesia di masa yang lalu ternyata seringkali berpijak
pada paradigma pembangunan yang menekankan pada efisiensi untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi secara agregat. Paradigma yang dikembangkan dari pemikiran
Kuznet (1966) tersebut menyatakan bahwa bagi negara sedang berkembang yang
pendapatan rendah dapat tumbuh perekonomiannya, dengan cara terlebih dahulu
mengorbankan aspek pemerataannya (trade off). Oleh karena pada tahap
awal ekonomi nasional didominasi oleh pemerintah, maka wajar apabila pemerintah
lebih memusatkan perhatiannya untuk mengalokasikan sumberdaya pembangunan yang
ada kepada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam
menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi, yang pada umumnya berlokasi di kawasan
darat dan perkotaan. Wilayah pesisir danlaut belum menjadi prioritas utama bagi
pertumbuhan ekonomi secara nasional. Kondisi demikian akan mendorong timbulnya
disparitas antar wilayah yang semakin melebar karena Indonesia yang merupakan
negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup
berlimpah.
Selain itu, sebagai akibat dilaksanakannya pendekatan pembangunan yang
sentralistik, telah menyebabkan terabaikannya aspirasi dan kreativitas
masyarakat lokal, yang berimplikasi pada pembangunan yang tidak sesuai (compatible)
dengan kebutuhan masyarakat lokal. Para pengambil keputusan di pusat lebih
menyukai mendukung pendirian industri manufaktur di kawasan urban yang tidak
menimbulkan multiplier pada perekonomian lokal. Penetesan pembangunan seperti
yang diharapkan, dalam prakteknya, tidak pernah terjadi. Secara substansial
selama ini Indonesia, sadar atau tidak, telah mendulang akumulasi dari
kebijakan-kebijakan pembangunan yang salah arah (misleading policy)
sehingga krisis ekonomi yang terjadi sulit mengalami pemulihan secara cepat (economic
recovery). Proses pemulihan ekonomi nasional akan semakin bertambah berat
jika ternyata Indonesia juga mengalami kesulitan dalam mengejawantah pada arus
utama globalisasi (perdagangan bebas).
Di era perdagangan bebas seperti sekarang, tantangan yang dihadapi oleh
Indonesia ke depan akan semakin besar. Diperkirakan, negara-negara sedang
berkembang seperti Indonesia dalam jangka pendek justru akan menerima kerugian,
karena hanya negara-negara maju yang paling siap melakukan perdagangan bebas.
Kata kunci untuk dapat mengambil manfaat dari keterlibatan dalam ekonomi global
adalah daya saing, produktivitas dan efisiensi. Untuk itu, dalam konteks perdagangan
bebas (WTO), diperlukan strategi jitu agar perekonomian nasional cepat pulih
dan mampu mengambil manfaat dari skenario integrasi ekonomi dunia tersebut.
Karenanya diperlukan sinthesis untuk memproduksi paradigma baru pembangunan
yang diarahkan pada terjadinya pemerataan (equity), mendukung
pertumbuhan (efficiency) dan keberlanjutan (sustainability) dalam
pembangunan ekonomi. Setidaknya, ada 2 (dua) hal pokok dalam konstruksi
paradigma baru pembangunan tersebut meliputi :
1. Pembangunan lebih diorientasikan pada pembangunan spasial pada
tingkat wilayah dan lokal, dengan lebih mengedepankan peningkatan kapasitas
ekonomi lokal (local economic development). dan
2. Dengan diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22 Tahun
1999, maka kekuasaan atau peran pemerintah pusat akan dibatasi hanya pada
penyediaan barang-barang publik (public goods), infrastruktur ekonomi,
manajemen makro ekonomi, hubungan luar negeri dan pencetakan uang. Dengan
demikian, pemerintah tidak banyak lagi melakukan intervensi langsung ke dalam
ekonomi, terutama pada bidang-bidang kegiatan pihak swasta. Sedangkan pada
bidang-bidang kegiatan dari pihak swasta (private sector) yang tidak
memiliki insentif ekonomi, barulah pemerintah melakukannya.
Alokasi sumberdaya dapat berlangsung efisien manakala kebijakan pemerintah
hanya terbatas pada kebijakan tertentu saja, misalnya penentuan target
pemerataan melalui transfer, perpajakan dan subsidi. Sedang proses ekonomi
selanjutnya diserahkan pada bekerjanya mekanisme pasar. Untuk mendukung
terjadinya proses tersebut, diperlukan pengaturan kelembagaan (institutional
arrangement) berupa penegasan hak-hak masyarakat lokal (local property
right), khususnya penegasan atas akses masyarakat terhadap sumberdaya
ekonomi.
Untuk itu pilihan pembangunan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor
andalan utama pembangunan Indonesia merupakan pilihan yang sangat tepat, hal
ini didasarkan atas potensi yang dimiliki dan besarnya keterlibatan sumberdaya
manusia yang diperkirakan hampir 12.5 juta orang terlibat di dalam kegiatan
perikanan. Disamping itu juga didukung atas suksesnya pembangunan
kelautan dan perikanan di negara lain, seperti Islandia, Norwegia, Thailand,
China dan Korea Selatan yang mampu memberikan kontribusi ekonomi nasional yang
besar dan mendapatkan dukungan penuh secara politik, ekonomi, sosial dan
dukungan lintas sektoral.
Kontribusi sektor perikanan
terhadap GDP di Islandia sebesar 65%, Norwegia 25%, China yang mempunyai 8.8%
dari luas perairan Indonesia nilai produksi perikanan mencapai US$ 34 milliar
dan Thailand mempunyai nilai eksport perikanan US$ 4.2 Milyar dengan panjang
garis pantai 2.600 km (Indonesia hanya US$ 1.76 milyar). Sedangkan kontribusi
sektor perikanan di Negara Korea Selatan sebesar 37%, RRC 48.4%, Jepang 54% dan
Indonesia hanya 20%.
No comments:
Post a Comment