Sunday, February 12, 2012

Kebijakan Pemerintah Bagi Perkembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir


Pembangunan di Indonesia di masa yang lalu ternyata seringkali berpijak pada paradigma pembangunan yang menekankan pada efisiensi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara agregat. Paradigma yang dikembangkan dari pemikiran Kuznet (1966) tersebut menyatakan bahwa bagi negara sedang berkembang yang pendapatan rendah dapat tumbuh perekonomiannya, dengan cara terlebih dahulu mengorbankan aspek pemerataannya (trade off). Oleh karena pada tahap awal ekonomi nasional didominasi oleh pemerintah, maka wajar apabila pemerintah lebih memusatkan perhatiannya untuk mengalokasikan sumberdaya pembangunan yang ada kepada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi, yang pada umumnya berlokasi di kawasan darat dan perkotaan. Wilayah pesisir danlaut belum menjadi prioritas utama bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Kondisi demikian akan mendorong timbulnya disparitas antar wilayah yang semakin melebar karena Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup berlimpah.
Selain itu, sebagai akibat dilaksanakannya pendekatan pembangunan yang sentralistik, telah menyebabkan terabaikannya aspirasi dan kreativitas masyarakat lokal, yang berimplikasi pada pembangunan yang tidak sesuai (compatible) dengan kebutuhan masyarakat lokal. Para pengambil keputusan di pusat lebih menyukai mendukung pendirian industri manufaktur di kawasan urban yang tidak menimbulkan multiplier pada perekonomian lokal. Penetesan pembangunan seperti yang diharapkan, dalam prakteknya, tidak pernah terjadi. Secara substansial selama ini Indonesia, sadar atau tidak, telah mendulang akumulasi dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang salah arah (misleading policy) sehingga krisis ekonomi yang terjadi sulit mengalami pemulihan secara cepat (economic recovery). Proses pemulihan ekonomi nasional akan semakin bertambah berat jika ternyata Indonesia juga mengalami kesulitan dalam mengejawantah pada arus utama globalisasi (perdagangan bebas).
Di era perdagangan bebas seperti sekarang, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia ke depan akan semakin besar. Diperkirakan, negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia dalam jangka pendek justru akan menerima kerugian, karena hanya negara-negara maju yang paling siap melakukan perdagangan bebas. Kata kunci untuk dapat mengambil manfaat dari keterlibatan dalam ekonomi global adalah daya saing, produktivitas dan efisiensi. Untuk itu, dalam konteks perdagangan bebas (WTO), diperlukan strategi jitu agar perekonomian nasional cepat pulih dan mampu mengambil manfaat dari skenario integrasi ekonomi dunia tersebut. Karenanya diperlukan sinthesis untuk memproduksi paradigma baru pembangunan yang diarahkan pada terjadinya pemerataan (equity), mendukung pertumbuhan (efficiency) dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Setidaknya, ada 2 (dua) hal pokok dalam konstruksi paradigma baru pembangunan tersebut meliputi :
1.   Pembangunan lebih diorientasikan pada pembangunan spasial pada tingkat wilayah dan lokal, dengan lebih mengedepankan peningkatan kapasitas ekonomi lokal (local economic development). dan
2.   Dengan diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999, maka kekuasaan atau peran pemerintah pusat akan dibatasi hanya pada penyediaan barang-barang publik (public goods), infrastruktur ekonomi, manajemen makro ekonomi, hubungan luar negeri dan pencetakan uang. Dengan demikian, pemerintah tidak banyak lagi melakukan intervensi langsung ke dalam ekonomi, terutama pada bidang-bidang kegiatan pihak swasta. Sedangkan pada bidang-bidang kegiatan dari pihak swasta (private sector) yang tidak memiliki insentif ekonomi, barulah pemerintah melakukannya.
Alokasi sumberdaya dapat berlangsung efisien manakala kebijakan pemerintah hanya terbatas pada kebijakan tertentu saja, misalnya penentuan target pemerataan melalui transfer, perpajakan dan subsidi. Sedang proses ekonomi selanjutnya diserahkan pada bekerjanya mekanisme pasar. Untuk mendukung terjadinya proses tersebut, diperlukan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) berupa penegasan hak-hak masyarakat lokal (local property right), khususnya penegasan atas akses masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi.
Untuk itu pilihan pembangunan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor andalan utama pembangunan Indonesia merupakan pilihan yang sangat tepat, hal ini didasarkan atas potensi yang dimiliki dan besarnya keterlibatan sumberdaya manusia yang diperkirakan hampir 12.5 juta orang terlibat di dalam kegiatan perikanan. Disamping itu juga didukung atas suksesnya pembangunan kelautan dan perikanan di negara lain, seperti Islandia, Norwegia, Thailand, China dan Korea Selatan yang mampu memberikan kontribusi ekonomi nasional yang besar dan mendapatkan dukungan penuh secara politik, ekonomi, sosial dan dukungan lintas sektoral.
Kontribusi sektor perikanan terhadap GDP di Islandia sebesar 65%, Norwegia 25%, China yang mempunyai 8.8% dari luas perairan Indonesia nilai produksi perikanan mencapai US$ 34 milliar dan Thailand mempunyai nilai eksport perikanan US$ 4.2 Milyar dengan panjang garis pantai 2.600 km (Indonesia hanya US$ 1.76 milyar). Sedangkan kontribusi sektor perikanan di Negara Korea Selatan sebesar 37%, RRC 48.4%, Jepang 54% dan Indonesia hanya 20%.

No comments:

Post a Comment