Sunday, August 5, 2012

Pelapukan Minyak Di Laut


Minyak yang tumpah ke suatu perairan mengalami sejumlah proses fisika, kimia, dan biologi yang berperan mengubah nasib (fate) dan karakteristik minyak. Secara kolektif, proses-proses tersebut dikenal sebagai pelapukan (weathering). Proses ini terjadi pada semua minyak yang tumpah ke laut, namun tingkat dan aspek penting setiap proses sangat bergantung pada jenis minyak dan kondisi perairan.
Proses pelapukan tersebut akan mengubah komposisi, perilaku, keterpaparan, dan daya racun (toksisitas) minyak. Sebagai contoh, penetrasi minyak ke dalam kawasan lumpur bervegetasi (areal mangrove) dipengaruhi oleh kekentalan (viskositas) minyak. Minyak yang sudah mengalami pelapukan akan mempunyai tingkat penetrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak yang belum mengalami pelapukan. Minyak yang sudah mengalami pelapukan akan mengandung komponen-komponen yang tidak larut dalam air, dan bergabung membentuk gumpalan-gumpalan (bola-bola) minyak (tarballs).
Gumpalan-gumpalan tersebut sudah barang tentu mengurangi potensi terjadinya kontak dengan biota air. Namun di sisi lain, burung dan mamalia laut lebih berpotensi untuk menghisap gumpalan-gumpalan minyak tersebut. Sementara itu, hilangnya komponen minyak dengan berat jenis kecil melalui penguapan dan atau pelarutan selama proses pelapukan menyebabkan minyak menjadi tenggelam dan meningkatkan kemungkinan pencemaran sedimen dan meningkatkan daya racun minyak di kolom air.

Saturday, August 4, 2012

Pembakaran Minyak Secara In Situ di Laut


Pembakaran minyak di laut mempunyai sejumlah batasan di antaranya ketebalan minyak dan jarak antara lokasi tumpahan dengan kapal untuk alasan keamanan. Pembakaran secara in situ dilakukan saat mengatasi tumpahan minyak dari kapal Exxon Valdez. Dilaporkan bahwa pada hari kedua setelah kejadian, 60.000 - 110.000 liter minyak yang tumpah dapat dihilangkan. Hal ini membutuhkan boom yang tahan api, sementara lapisan minyak yang harus dijaga adalah setebal 3 mm. Residu pembakaran akan berupa semi-padatan yang kaku yang dapat dengan mudah diangkat, sekalipun masih menyisakan polutan di lingkungan laut. Masalah lain yang dapat timbul adalah terjadinya pencemaran udara di sekitar lokasi kejadian.
Berbagai informasi tentang karakteristik asap akibat pembakaran minyak bermunculan dari hasil studi yang dilakukan akibat adanya awan asap besar-besaran ketika ladang minyak Kuwait membara selama Perang Teluk pada Januari 1991. Asap yang terjadi segera meluas dengan ketinggian hingga 3 km dan bergerak ke arah timur hingga jarak 1500-2000 km. Hujan hitam berbau minyak terjadi selama 24 jam di Adana-Turki sekitar 1500 km barat laut Kuwait beberapa hari setelah kejadian. Hujan berbau minyak juga masih turun di bulan April, sekalipun tidak lagi berwarna hitam.
Analisis kimia yang dilakukan terhadap sampel aerosol dari pembakaran yang terjadi di Kuwait menunjukkan bahwa konstituen utamanya adalah: (I) gumpalan dari partikel jelaga berbentuk speris yang dilapisi senyawa sulfur; (ii) kristal kubik yang mengandung NaCl dan SO42-; (iii) debu-debu yang mengandung Si, Al, Fe, Ca, K, dan/atau S.

Friday, August 3, 2012

Dampak Pencemaran Minyak Terhadap Biota Di Laut


Komponen minyak tidak larut di dalam air akan mengapung pada permukaan air laut yang menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasirdan batuan-batuan di pantai. Hal ini mempunyai pengaruh yang luas terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di perairan.
Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh terhadap reproduksi,perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton,bahkan dapat mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan yang berakibat menurunnya devisa negara. Proses emulsifikasi merupakansumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar. Proses ini merupakan penyebab terkontaminasinya sejumlah flora dan fauna di wilayah tercemar.
Beberapa kasus pencemaran minyak telah menghancurkan hewan dan tumbuh–tumbuhan yang hidup di batu-batuan dan pasir di wilayah pantai, juga merusak area mangrove serta daerah air payau secara luas. Hutan mangrove merupakansumber nutrien dan tempat pemijah bagi ikan, dapat rusak oleh pengaruh minyak terhadap sistem perakaran yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang.
Tumpahan minyak berpengaruh besar pada ekosistem laut, penetrasi cahaya menurun di bawah oil slick atau lapisan minyak. Proses fotosintesis terhalang pada zona euphotik sehingga rantai makanan yang berawal pada phytoplankton akan terputus. Lapisan minyak juga menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob.
Tentu saja semua kejadian tersebut, yang diakibatkan oleh adanya pencemaran minyak, akan terkait dengan produksi perikanan di perairan. Adapun aplikasi detergen sebagai dispersant untuk menyerap tumpahan minyak di laut berpengaruh besar pada berbagai kehidupan biota laut, yaitu meningkatkan biological membrane permeability terhadap senyawa toksik.
Untuk menanggulangi tumpahan minyak di Laut Timor, kadang-kadang lapisan minyak diperlakukan dengan dispersant. Dengan perlakuan dispersant dapat meningkatkan biodegradasi minyak, namun penggunaan dispersant telah dilaporkan bersifat sangat toksik pada biota laut. Salah satu alternative penanggulangan minyak bumi di laut yang ramah lingkungan adalah dengan bioteknologi, yaitu menggunakan bakteri pemakan minyak bumi.
Di Indonesia, program pengendalian pencemaran berasal dari kegiatan di laut telah digalakkan, yakni Marine-base Pollution Source, oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui tindak lanjut dengan Pemerintah Norwegia perihal Oil Spill Contingency Planning and Management; kerja sama dengan perusahaan migas, Pertamina, dan perusahaan pertambangan lainnya untuk menanggulangi pencemaran.
Setelah mengetahui berbagai dampak yang ditimbulkan, maka sangatlah perlu dilakukan upaya pengendalian bahkan pencegahan terhadap pencemaran laut mengingat akibatnya yang tidak saja dirasakan oleh biota-biota laut tetapi juga oleh manusia. Upaya pengendalian pencemaran laut perlu dilaksanakan sejak awal, dalam arti limbah-limbah yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia, baik di darat maupun di laut, haruslah diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke laut.

Wednesday, August 1, 2012

Mendayagunakan Instrumen Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut


Upaya yang perlu dilakukan untuk mendayagunakan instrumen ekonomi lingkungan, seperti natural resource accounting dalam pengelolaan sumberdaya laut diantanaya adalah, pertama, memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang arti pentingnya penggunaan instrument tersebut. Dimulai dari skala yang paling kecil yaitu keluarga, disini kita memberikan pemahaman bahwa menggunakan instrumen tersebut layaknya menghitung pendapatan dan pengeluaran bulanan keluarganya. Misalnya, menghitung berapa keuntungan dan kerugian yang harus ditanggung dari penggunaan taman sebagai lahan parkir atau perkebunan.
Selanjutnya, dibetuklah kelompok kecil yang terdiri dari perwakilan masyarakat yang berkepentingan. Setelah kelompok ini terbentuk, kita lakukan pendampingan untuk memahami lebih dalam mengenai arti pentingnya instrumen ekonomi lingkungan beserta pelaksnaannya di lapangan. Seperti menjelaskan kepada mereka arti pentingnya memelihara hutan mangrove, bahwa apabila masyarakat melakukan pengrusakan maka akan timbul dampak yang lebih merugikan bagi masyarakat itu sendiri.
Dari kelompok-kelompok kecil yang telah terbentuk, kemudian dibentuklah kelompok yang lebih besar, dimana di dalam kelompok ini terdiri dari berbagai macam unsur baik masyarakat, pemerhati lingkungan maupun peneliti yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap sumberdaya alam. Kelompok besar inilah yang nantinya akan menjadi penyeimbang bagi setiap pelaksanaan kebijakan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun sektor swasta dalam pengelolaan lingkungan. Sebagai contoh adalah ketika pemerintah berencana menggandeng pihak swasta dalam pengelolaan sumber daya pertambangan, maka kelompok ini harus bisa menghitung bagaimana dampak kebijakan tersebut bagi masayarakat, daerah maupun sumber daya alam. Hasil perhitungan inilah yang nantinya akan diajukan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah sebelum melaksanakan kebijakan tersebut.
Apabila masyarakat telah terbiasa dengan penggunaan instrumen ekonomi lingkungan, maka upaya yang kedua adalah membiasakan penggunaan isntrumen tersebut kepada para pembuat keputusan, dalam hal ini adalah pemerintah. Seperti halnya pemahaman kepada masayarakat, pelaksanaannya harus dimulai dari skala pemerintahan yang paling kecil. Para pembuat kebijakan harus memiliki pola pikir atau mindset bahwa setiap kali membuat kebijakan maka harus diperhitungkan pula dampaknya kepada sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Oleh karena itu diperlukan sebuah upaya agar instrumen tersebut dapat diinternalisasi dalam proses perencanaan pembangunan, terutama dalam bidang pemerintahan dalam menentukan suatu kebijakan. Selanjutnya, instrumen ekonomi lingkungan akan mendorong perencana pembangunan daerah untuk memperhitungkan secara saksama intensitas dan pola eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Sebagai contoh adalah bahwa dalam semua rencana pembangunan memperhitungkan besar kebutuhan pembiayaannya, yang disesuaikan dengan potensi pendapatan daerah, termasuk dari sektor sumber daya alam. Penghitungan pendapatan dari sektor sumber daya alam akan mencakup tingkat deplesi dan degradasi lingkungan hidup yang mungkin terjadi. Pengetahuan dan kesadaran memperhitungkan tingkat deplesi dan degradasi lingkungan, seperti pada kasus kebutuhan dana reklamasi bekas galian batu bara dapat mendorong perencana daerah mengatur intensitas dan pola eksploitasi sumber daya alam lokal. Deplesi SDA ialah penyusutan sumber daya alam karena eksploitasi, yang terjadi karena laju pemulihan sumber daya alam lebih lambat dari laju eksploitasinya. Semua itu, dilakukan untuk mengetahui besaran dampak-dampak negatif pembangunan yang tidak terukur, seperti erosi akibat penggundulan hutan, pencemaran sungai, dan polusi udara. Dampak-dampak negatif yang tidak terukur tersebut selama ini tidak dihitung dalam penentuan besaran ukuran yang ada selama ini, termasuk penghitungan GDP. Disebutkan, jika segala kerusakan tak terukur itu diperhitungkan seperti yang dilakukan paradigma natural resource accounting, maka besaran GDP yang ada sekarang bisa dikatakan sebagai nilai ilusif.
Upaya ketiga merupakan proyeksi ke depan, dimana memasukkan instrumen ekonomi lingkungan, seperti natural resources accounting ke dalam bahan ajar atau kurikulum sistem pendidikan baik formal amupun informal sejak dini. Sebagai contoh adalah, sejak dini anak-anak sudah dididik untuk memahami arti pentingnya menjaga lingkungan sekitar, dan bahwa pada dasarnya alam telah diciptakan ke dalam satu sistem menyeluruh yang saling berhubungan dan dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan terhadap satu sistem maka dengan sendirinya akan mempengaruhi sistem secara keseluruhan sekaligus mengganggu keseimbangan alam itu sendiri.
Dengan mengajarkan arti pentingnya menjaga lingkungan sejak dini, maka hal itu akan terbawa dalam kehidupan keseharian mereka. Sehingga ketika dewasa mereka akan menjadi manusia yang memiliki kearifan akan lingkungan, dan selalu memperhitungkan kebaikan-kebaikan alam yang akan didapat.
Upaya-upaya tersebut tidak bisa dipandang sebagai suatu urutan priorotas, dimana upaya pertama selalu lebih penting daripada upaya-upaya selanjutnya. Namun keseluruhan upaya tersebut harus diintegrasikan bersama-sama secara serentak dan benar mengenai arti pentingnya instrumen ekonomi lingkungan, seperti natural resources accounting sehingga pada akhirnya akan mendukung upaya suatu pembangunan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan.